Senja di Mata Ibu

Mentari baru saja menapak di batas ufuk, namun di sudut kamar itu, matahari seorang ibu serasa belum terbit. Ia bernama Ibu, sedang menatap wajah putra semata wayangnya, Kenan, yang tubuhnya terbaring lesu. Dahi Kenan terasa memanggang. Ibu menempelkan telapak tangannya. "39 derajat Celsius? Ya Tuhan, kenapa tidak turun juga panasnya?" Bisikan cemas itu bagai pisau yang menusuk batinnya sendiri. Seketika, rasa khawatir yang pekat menjalar, seolah-olah demam Kenan ikut membakar syaraf-syaraf di kepala Ibu. Pandangannya berputar. Kenan yang lemah menangkap perubahan itu. "Ibu kenapa? Kok, pucat?" tanyanya, suaranya seperti tiupan angin yang nyaris tak terdengar. Ibu berjuang keras untuk tersenyum, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan kenyataan, bola matanya berkaca-kaca menahan air yang siap tumpah. "Kamu sudah seperti ini, masih saja cerewet, Nak," ucapnya, nadanya bergetar tipis. Kenan tertawa samar, mencari celah tawa di tengah rasa nyeri. "Bu, k...